Tax Planning (Perencanaan Pajak) adalah upaya penghematan pajak dengan cara menekan jumlah kewajiban pajak tanpa bertentangan dengan Undang-Undang Pajak yang berlaku. Hal ini sangat lumrah, karena pajak dianggap sebagai beban, sehingga untuk meminimalkan biaya tersebut dilakukan berbagai cara atau strategi tertentu. Intinya adalah bagaimana agar pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya, dan akhirnya mendapatkan keuntungan serta likuiditas yang diharapkan.
Bagaimana konsep Tax Planning dapat diterapkan di Indonesia? Setidaknya ada 3 jenis pajak yang relevan :
1. Pajak yang timbul dari pembelian (PPN)
2. Pajak yang timbul karena kepemilikan (PBB, PPnBM, BPHTB dan pajak kendaraan).
3. Pajak yang timbul karena adanya penghasilan (PPh)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya sudah dimasukan ke dalam harga barang yang dibeli/dikonsumsi. Penjual barang yang dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban untuk memungut pajak dari konsumennya. Namun dalam kasus Wajib Pajak melakukan kegiatan penambahan nilai secara independen maka pembayaran PPN kepada kantor pajak adalah keharusan. Misalnya membangun rumah sendiri tanpa bantuan kontraktor, maka Wajib Pajak harus membayar PPN. Untuk perencanaan PPN, Klabers harus memperhitungkan nilai barang yang akan dikonsumsi setelah pajak supaya anggarannya tidak membengkak. Tarif baru PPN adalah sebesar 10 persen.
Untuk aset yang sudah dimiliki, anggaran pajak kepemilikan harus diperhitungkan. Jika memiliki kendaraan bermotor, jangan lupa untuk membayar pajaknya setiap tahun. Kalau memiliki rumah diatas sebidang tanah maka setiap tahunnya wajib membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang besarnya berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dalam kasus kepemilikan apartemen, jika Wajib Pajak adalah pemilik pertama maka ada tiga jenis pajak yang harus dibayar, yaitu : PPN, PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). Namun jika Wajib Pajak adalah pemilik kedua dan seterusnya, maka pajak yang harus dibayar hanyalah BPHTB.
Berikut ini strategi penerapan tax planning untuk orang pribadi yang bisa menjadi awal perenungan :
1. Jika tidak ada Perjanjian Pisah Harta atau Penghasilan, istri tidak perlu memiliki NPWP sendiri, karena megikuti register NPWP suami.
2. Hindari pelaggaran terhadap peraturan perpajakan, misalnya telat untuk melaporkan SPT dan/atau telat membayar pajak, yang dapat dikenakan sanksi administrasi. Apabila belum selesai menyiapkan SPT Tahunan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan pelaporan sebelum jatuh tempo, sehingga tidak dikenakan sanksi administrasi.
3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp 4,8 Milyar boleh menghitung penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat memberitahukan Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan menggunakan Norma Penghitungan adalah adanya kemudahan praktek penghitungan pajak. Wajib Pajak juga tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan pembukuan. Keuntungan yang lainnya adalah kemudahan menghitung Pajak Penghasilan.
4. Wajib Pajak perlu membuat perencanaa perpajakan, semua pengeluaran dan kebutuhan selama setahun perlu dicatat agar dapat mengetahui total pengeluaran berbanding dengan penghasilan.
5. Jika hendak berbisnis, maka Wajib Pajak Orang Pribadi dapat mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk usaha yang tempat. Misalnya, jika peredaran bruto satu tahun tidak mencapai Rp 600 juta dapat memilih bentuk perusahaan perorangan (PO) yang akan dikenakan tarif pajak dengan tarif terendah 5 %.
6. Berinvestasi di Reksadana dengan jangka waktu kurang dari lima tahun karena bukan obyek pajak penghasilan.
7. Program apartemen bersubsidi dari pemerintah yang sedang marak dipasarkan bisa dilirik sebagai salah satu pilihan untuk memiliki tempat tinggal. Karena pemerintah akan membebaskan PPN untuk pembelian satu unit apartemen bersubsidi jika memiliki pendapatan maksimal 48 juta per tahun.
2. Pajak yang timbul karena kepemilikan (PBB, PPnBM, BPHTB dan pajak kendaraan).
3. Pajak yang timbul karena adanya penghasilan (PPh)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya sudah dimasukan ke dalam harga barang yang dibeli/dikonsumsi. Penjual barang yang dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban untuk memungut pajak dari konsumennya. Namun dalam kasus Wajib Pajak melakukan kegiatan penambahan nilai secara independen maka pembayaran PPN kepada kantor pajak adalah keharusan. Misalnya membangun rumah sendiri tanpa bantuan kontraktor, maka Wajib Pajak harus membayar PPN. Untuk perencanaan PPN, Klabers harus memperhitungkan nilai barang yang akan dikonsumsi setelah pajak supaya anggarannya tidak membengkak. Tarif baru PPN adalah sebesar 10 persen.
Untuk aset yang sudah dimiliki, anggaran pajak kepemilikan harus diperhitungkan. Jika memiliki kendaraan bermotor, jangan lupa untuk membayar pajaknya setiap tahun. Kalau memiliki rumah diatas sebidang tanah maka setiap tahunnya wajib membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang besarnya berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dalam kasus kepemilikan apartemen, jika Wajib Pajak adalah pemilik pertama maka ada tiga jenis pajak yang harus dibayar, yaitu : PPN, PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). Namun jika Wajib Pajak adalah pemilik kedua dan seterusnya, maka pajak yang harus dibayar hanyalah BPHTB.
Berikut ini strategi penerapan tax planning untuk orang pribadi yang bisa menjadi awal perenungan :
1. Jika tidak ada Perjanjian Pisah Harta atau Penghasilan, istri tidak perlu memiliki NPWP sendiri, karena megikuti register NPWP suami.
2. Hindari pelaggaran terhadap peraturan perpajakan, misalnya telat untuk melaporkan SPT dan/atau telat membayar pajak, yang dapat dikenakan sanksi administrasi. Apabila belum selesai menyiapkan SPT Tahunan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan pelaporan sebelum jatuh tempo, sehingga tidak dikenakan sanksi administrasi.
3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp 4,8 Milyar boleh menghitung penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat memberitahukan Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan menggunakan Norma Penghitungan adalah adanya kemudahan praktek penghitungan pajak. Wajib Pajak juga tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan pembukuan. Keuntungan yang lainnya adalah kemudahan menghitung Pajak Penghasilan.
4. Wajib Pajak perlu membuat perencanaa perpajakan, semua pengeluaran dan kebutuhan selama setahun perlu dicatat agar dapat mengetahui total pengeluaran berbanding dengan penghasilan.
5. Jika hendak berbisnis, maka Wajib Pajak Orang Pribadi dapat mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk usaha yang tempat. Misalnya, jika peredaran bruto satu tahun tidak mencapai Rp 600 juta dapat memilih bentuk perusahaan perorangan (PO) yang akan dikenakan tarif pajak dengan tarif terendah 5 %.
6. Berinvestasi di Reksadana dengan jangka waktu kurang dari lima tahun karena bukan obyek pajak penghasilan.
7. Program apartemen bersubsidi dari pemerintah yang sedang marak dipasarkan bisa dilirik sebagai salah satu pilihan untuk memiliki tempat tinggal. Karena pemerintah akan membebaskan PPN untuk pembelian satu unit apartemen bersubsidi jika memiliki pendapatan maksimal 48 juta per tahun.
5 comments:
program apartemen sekarang ada dimana t
kunjungan balasan, thanks telah mampir
Lah...kalo wajib pajak rata-rata memikirkan penghematan pajak, trus pendapatan negara dari sektor pajak berkurang dong? Belum lagi ditambah yang ngemplang pajak...mohon penjelasannya
penjelasannya menambah wawasan saya yang kurang soal pajak. membantu sekali. nice post. thanks for sharing
perpajakan... lumbung uang :(
Post a Comment